Pages

Jumat, 14 Mei 2010

Aspirin dosis rendah meningkatkan Risiko Ulkus Peptikum pada Wanita usia Lanjut

Risiko ulkus peptikum karena aspirin dosis rendah, LDA, (low dose aspirin, =325 mg sehari) lebih besar pada wanita usia lanjut dibandingkan dengan pria usia lanjut. Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh dr. Kazuhisa Okada dan rekan dari Hiratsuka City Hospital, Hiratsuka, Jepang dan telah dipublikasikan dalam World Journal of Gastroenterology edisi bulan April 2010.

Terapi menggunakan aspirin pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular kian meningkat, terutama pada pasien-pasien usia lanjut. LDA digunakan secara luas sebagai profilaksis sekunder pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular. Namun selain manfaatnya dalam menurunkan kejadian vaskular, pemberiannya disertai dengan peningkatan risiko perdarahan gastroduodenal, bahkan bila diberikan dengan dosis kecil (75 mg sehari). Bila terjadi perdarahan ulkus peptikum, salah satu terapi yang dilakukan adalah menghentikan pemberian aspirin hingga ulkus sembuh, walaupun penghentian terapi berarti meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular, serebrovaskular dan kematian pada pasien. Beberapa ahli tetap menganjurkan pemberian LDA pada pasien yang mengalami ulkus, karena dalam penelitian yang dilakukan baru-baru ini, angka kejadian kematian pada pasien yang meneruskan LDA (walau ada ulkus peptikum) lebih rendah dibandingkan dengan pasien-pasian yang tidak meneruskan terapi. (Walau para ahli tersebut juga sepakat bahwa masih diperlukan penelitian yang lebih besar untuk mengkonfirmasikan hal ini).

Hingga kini, perbandingan manifestasi klinik ulkus peptikum karena LDA antara pria dan wanita belum diketahui dengan baik, sehingga muncul pertanyaan: apakah ada perbedaan risiko ulkus peptikum antara pria dan wanita usia lanjut yang diterapi menggunakan LDA?

Penelitian yang dilakukan oleh dr. Okada dan rekan bertujuan untuk membandingkan risiko perdarahan gastrointestinal karena LDA pada pria dan wanita. Penelitian melibatkan 453 pasien (298 pria dan 155 wanita) yang telah diterapi dengan LDA (81-100 mg sehari). Pasien yang terlibat dalam penelitian ini menjalani pemeriksaan esophagogastroduodenoscopy di Hiratsuka City Hospital. Terapi LDA terus dilanjutkan selama masa observasi.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ulkus peptikum karena LDA ditemukan pada 119 pasien (87 pasien pria dan 32 wanita). Baik pada pria maupun pada wanita, riwayat ulkus peptikum merupakan faktor risiko terjadinya ulkus peptikum karena LDA. Faktor risiko lainnya pada wanita (tidak pada pria), adalah umur >70 tahun, dengan prevalensi odds ratios 8,441; 95% confidence interval 1,797 – 33,649, (p = 0,0069). Selain itu, dibandingkan dengan pria, wanita lebih cepat terdiagnosa menderita ulkus peptikum karena LDA melalui pemeriksaan endoskopi (P = 0,0050).

Para ahli penelitian menyampaikan bahwa pada wanita usia lanjut, risiko terjadinya ulkus peptikum karena LDA lebih besar dibandingkan dengan pria. Para ahli merekomendasikan agar para tenaga kesehatan memberikan perhatian khusus bila memberikan terapi LDA pada pasien wanita usia lanjut. Mengapa risiko ini lebih banyak terjadi pada wanita belum diketahui dengan jelas, namun para ahli memperkirakan bahwa hal ini terjadi karena penurunan bertahap kadar hormon seks setelah masa menopause, serta penurunan perlindungan mukosa lambung.

Kesimpulan
  • Risiko terjadinya ulkus peptikum karena aspirin dosis rendah (LDA, low dose aspirin) lebih besar pada wanita usia lanjut.
  • Peningkatan risiko ulkus peptikum pada wanita usia lanjut diperkirakan terjadi karena penurunan bertahap kadar hormon seks setelah masa menopause, serta penurunan perlindungan mukosa lambung.
  • Karena LDA telah digunakan secara luas sebagai terapi pada pasien-pasien usia lanjut dengan risiko atau penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, para ahli penelitian ini merekomendasikan agar para tenaga kesehatan lebih berhati-hati bila memberikan terapi LAD pada pasien wanita usia lanjut
.Sumber: Kalbe.co.id 

Kamis, 29 April 2010

Vitamin B6 dan Asam Folat Menurunkan Resiko Penyakit Kardiovaskuler

Vitamin B6 dan asam folat dosis tinggi menurunkan risiko kematian karena stroke dan penyakit kardiovaskular pada wanita, serta mengurangi kejadian gagal jantung pada pria. Kesimpulan ini merupakan hasil analisa yang dilakukan oleh dr. Renzhe Cui dan rekan dari the Graduate School of Medicine at Osaka University, di Osaka, Jepang, dan telah dipublikasikan dalam jurnal Stroke edisi bulan April 2010.
  
Dr. Renzhe Cui dan rekan meneliti data dari 23.119 pria dan 35.611 wanita, yang dikumpulkan dari the Japan Collaborative Cohort study. Pasien-pasien dalam penelitian ini berumur sekitar 40-79 tahun, dan dalam follow-up selama rata-rata 14 tahun, 896 meninggal karena stroke, 424 meninggal karena penyakit jantung koroner dan 2087 meninggal karena penyakit kardiovaskular. dr. Renzhe Cui dan rekan kemudian mengklasifikasikan asupan para peserta penelitian ini, yang terdiri dari asupan asam folat, vitamin B6 dan vitamin B12, berdasarkan kuintil (quintiles).

Para ahli menemukan bahwa konsumsi vitamin B6 dan folat dosis tinggi disertai dengan penurunan secara bermakna kejadian kematian karena gagal jantung pada pria dan penurunan secara bermakna kematian karena stroke, penyakit jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya pada wanita. Sedangkan pemberian vitamin B12 tidak berhubungan dengan penurunan risiko kematian. Efek proteksi asam folat dan vitamin B6 ini tetap bermakna setelah melakukan penyesuaian terhadap ada tidaknya faktor risiko kardiovaskular dan juga setelah dilakukan metode eksklusi terhadap suplemen yang dikonsumsi peserta penelitian (n=7.334).

Mekanisme proteksi vaskular oleh asam folat dan vitamin B6 hingga kini belum diketahui dengan pasti, namun para ahli memperkirakan bahwa hal ini berhubungan dengan penurunan kadar homosistein dalam darah.

Kesimpulan:
  • Asupan tinggi asam folat dan vitamin B6 berhubungan dengan penurunan risiko kematian karena stroke, penyakit jantung koroner dan gagal jantung. Hal ini diperkirakan terjadi karena penurunan kadar homosistein dalam darah.
  • Karena penelitian ini melibatkan pasien-pasien dari Jepang, maka perlu dilakukan penelitian lebih luas dan lebih besar lagi untuk memastikan manfaat dari asam folat dan vitamin B ini.

Regimen Baru untuk Pencegahan TB?

Sebuah studi yang dilakukan secara acak oleh Tuberculosis Research Center di Chennai, India, menunjukkan bahwa selama enam bulan perjalanan isoniazid dan ethambutol, antibiotik lain yang digunakan dalam pengobatan TB, adalah sama efektifnya dengan 36 bulan perjalanan isoniazid pada orang dengan HIV, kebanyakan dari mereka tidak menerima ART.

Studi India yang dirancang untuk menguji apakah rejimen alternatif terhadap isoniazid saja sudah aman dan efektif dalam lingkungan di mana 15 sampai 20% dari pasien memiliki TB yang resistan terhadap isoniazid pada saat diagnosis, dan di mana rifampisin, obat TB lain diuji sebagai tindakan pencegahan, disediakan secara ketat untuk pengobatan TB aktif untuk membatasi perkembangan resistansi terhadap obat. Studi juga dirancang untuk membandingkan kelayakan rejimen singkat selama enam bulan yang diharapkan untuk memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap pajanan terhadap TB dalam periode studi tersebut, terutama pada orang dengan kekebalan tubuh yang kurang yang mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi pada kelanjutan laju TB.

Kajian ini dilakukan oleh Tuberculosis Research Center di Chennai, dan mulai merekrut pasien untuk studi tiga tahun antara tahun 2001 dan 2005. Semua peserta telah dikonfirmasikan TB melalui kultur dahak, dan studi mengecualikan setiap orang dengan HIV yang mempunyai riwayat TB. Selama studi pasien menerima tinjauan klinis setiap tiga bulan untuk memeriksa gejala-gejala TB dan masalah kesehatan lainnya, dan menjalani sinar-X dada setiap enam bulan.

Peserta secara acak menerima rejimen isoniazid 300mg harian dan ethambutol 800mg selama enam bulan, atau 36 bulan isoniazid sendiri, dan semua pasien dengan jumlah CD4 di bawah 250 menerima kotrimoksazol. ART mulai tersedia di sektor publik pada tahun 2004 untuk pasien dengan stadium 4 WHO, atau stadium 3 WHO dan jumlah CD4 di bawah 200).

Studi mengacak 683 pasien, dan 37 kasus TB terjadi selama tiga tahun masa tindak lanjut 16 di antaranya adalah dikonfirmasi secara bakteri. Kejadian TB tidak berbeda secara bermakna pada kedua lengan studi (2,4 kasus per 100 orang-tahun pada lengan ethambutol, 1.6 kasus per 100 orang-tahun di lengan isoniazid), dan tingkat kematian juga serupa.

TB tingkat rendah dalam penelitian dibandingkan dengan insiden historis sebelumnya diukur dalam kelompok Chennai (6.9 kasus per 100 orang-tahun) mungkin sebagian dapat dikaitkan dengan pemeriksaan melalui kultur pada awal. Skrining menemukan 30 kasus TB aktif, tetapi asimtomatik yang jika akan berkembang menjadi insiden kasus TB selama percobaan.

Dalam kedua lengan, sebagian besar kasus TB – dan kebanyakan kematian – pertama terjadi selama 12 sampai 18 bulan masa tindak lanjut, namun hanya tiga kematian akibat TB.

Terlepas dari rejimen yang diterima, individu-individu dengan jumlah CD4 rendah memiliki empat kali lipat kejadian TB yang lebih tinggi, sementara TST positif (TST>5mm) memiliki risiko 40% lebih besar terhadap pengembangan TB.

Di antara kasus TB yang dikonfirmasi secara bakteri, enam telah memiliki resistansi terhadap isoniazid (lima pada lengan ethambutol dan satu pada lengan isoniazid).

Tidak ada perbedaan dalam perkembangan peristiwa-peristiwa buruk di antara kedua lengan: tiga peristiwa yang parah terjadi di lengan ethambutol dan dua di lengan isoniazid, dan secara keseluruhan rejimen sangat baik ditoleransi. Tingkat kepatuhan juga sangat tinggi, dengan sekitar 93% di setiap lengan dinilai tidak lebih dari 80% orang yang patuh melalui penghitungan pil pada kunjungan rumah tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Dr. Swaminathan berkomentar bahwa tingkat kepatuhan yang tinggi, retensi studi yang tinggi dan tingkat TB yang rendah dalam studi mungkin karena persiapan tingkat tinggi dan skrining pasien yang diterima sebelum memasuki studi. Pasien dalam percobaan menerima pengobatan HIV gratis, dan bagi banyak orang, itu mungkin pengalaman pertama mereka dalam sistem kesehatan India dengan perawatan dan dukungan yang berkualitas baik, yang mengarah kepada kepatuhan yang baik dari pasien terhadap program, dan keengganan untuk dirujuk ke dalam pusat lainnya setelah percobaan selesai.

Sumber : Kalbe.co.id

Virus Hepatitis C Bertahan Hidup dalam ALat Suntik

Virus hepatitis C (HCV) mungkin masih dapat menular melalui jarum suntik lama setelah penggunaan pertama mereka, menurut sebuah studi di Amerika Serikat yang dipresentasikan pada 17th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) di San Fransisco. Jarum suntik yang berukuran lebih besar dan suhu yang lebih dingin dihubungkan dengan ketahanan hidup virus lebih lama, hingga dua bulan.

Sebagian besar orang dengan hepatitis C kronis tertular virus melalui berbagi peralatan suntikan narkoba. Tingkat infeksi HCV berkisar dari sekitar 30% sampai 90% dalam berbagai kelompok pengguna narkoba suntikan, jauh lebih tinggi daripada prevalensi HIV.

Sementara langkah-langkah pengurangan dampak buruk narkoba seperti program pertukaran jarum suntik telah secara dramatis mengurangi infeksi HIV baru di kalangan orang yang menyuntik, langkah-langkah pengurangan dampak buruk dari penggunaan narkoba suntikan memiliki dampak yang lebih rendah pada hepatitis C. Selain itu, penularan HCV terjadi sepuluh kali lebih sering daripada penularan HIV melalui kecelakaan tertusuk jarum suntik.

Elijah Paintsil dan rekan-rekannya dari Yale School of Medicine di Connecticut merancang studi untuk menguji hipotesis bahwa kemungkinan besar dari infeksi mungkin disebabkan karena adanya ketahanan hidup yang lebih lama dari HCV dalam jarum suntik.

Para peneliti mengembangkan sebuah tes laboratorium baru untuk menilai ketahanan hidup HCV dalam sisa darah dalam semprit. Karena HCV yang diambil langsung dari orang yang terinfeksi tidak dapat tumbuh di laboratorium, mereka menggunakan virus genotipe khusus 2a yang dapat hidup dalam biakan sel.

Para peneliti pertama mempersiapkan semprit dengan HCV. Mereka melihat dua jenis jarum suntik dan volume darah: semprit insulin volume kecil dengan jarum yang terpasang secara permanen diisi dengan 2 µL darah, dan semprit tuberkulin dengan volume yang lebih besar dengan jarum yang bisa dilepas diisi dengan 32 µL darah. Orang yang menyuntikkan hormon – misalnya, transgender atau orang-orang yang sedang membentuk badan – biasanya menggunakan semprit yang lebih besar.

Beberapa semprit segera diuji dan yang lainnya disimpan untuk suatu jangka waktu yang berkisar sampai dua bulan. Semprit disimpan pada tiga suhu yang berbeda: 4ºC (sama dengan suhu kulkas pada umumnya), 22ºC (iklim suhu kamar) dan 37ºC (suhu tubuh dan iklim yang sangat hangat). Semprit kemudian dibilas dan virus yang masih bertahan diuji melalui biakan sel.

Para peneliti menemukan bahwa biakan sel menunjukkan berbagai tingkat infektivitas HCV. Melihat proporsi jarum suntik yang mengandung virus yang menular, dalam skenario volume kecil, kemungkinan untuk menemukan virus menular dengan cepat menurun pada jarum suntik yang disimpan pada 37ºC, dan tidak mengandung HCV satu hari setelah penyimpanan.

Pada 22ºC, sepertiga dari jarum suntik masih memiliki virus yang dapat menularkan pada hari pertama, tetapi tidak pada hari ketiga. Pada suhu 4ºC, HCV yang tetap bertahan terdapat dalam kira-kira dua pertiga dari jarum suntik pada hari pertama, sekitar seperempat pada hari ketiga dan sekitar 5% pada hari ke tujuh.

Pola ini tidak konsisten untuk skenario volume tinggi. Pada temperatur yang paling dingin, hampir semua jarum suntik masih memiliki HCV yang dapat bertahan pada hari ketujuh, kira-kira setengah masih dapat bertahan pada hari ke-35, dan sebagian kecil bahkan pada masih bisa menularkan pada hari ke-63 (sembilan minggu).

Jumlah semprit yang mengandung virus yang dapat menularkan pada awalnya menurun lebih cepat pada dua suhu yang lebih tinggi, tetapi kemudian jumlahnya menjadi sebanding. Pada suhu kamar, sekitar 70% HCV masih bertahan pada hari ke tujuh dan sekitar 40% pada hari ke-35. Pada 37ºC, proporsi tersebut hanya lebih dari 50% pada hari ke tujuh dan hanya sedikit lebih rendah pada hari ke-35. Sekali lagi, sebagian kecil masih memiliki HCV yang dapat menularkan setelah 63 hari.

Beralih ke titer atau jumlah HCV yang bertahan, dalam skenario volume kecil, jumlah virus di dalam jarum suntik menunjukkan tingkat kehilangan biphasic, dengan penurunan yang sangat cepat pada awal dan diikuti oleh penurunan yang lebih lambat. Sekali lagi, jumlah virus bervariasi menurut suhu. Infeksi HCV jatuh ke tingkat tidak terdeteksi antara hari dua dan tiga pada 37ºC dan pada hari ketiga pada 22ºC. Namun, pada 4ºC, sejumlah kecil virus tetap bertahan pada hari ketujuh.

Dalam skenario volume tinggi, tingkat virus yang bertahan menurun sampai sekitar hari ketujuh pada dua suhu yang lebih tinggi dan sekitar dua kali lebih lama pada 4ºC. Tingkat ini kemudian rendah tapi stabil untuk sisa waktu studi pada semua suhu.

Para peneliti menyimpulkan bahwa ketahanan HCV yang masih dapat menularkan tergantung kepada jenis dan ukuran semprit, dengan semprit dan jarum suntik yang dapat dilepas dan semprit volume besar yang lebih mungkin untuk menularkan virus. Selanjutnya, suhu yang lebih rendah lebih mampu mempertahankan HCV dalam semprit volume kecil dibandingkan semprit volume besar.

Dibandingkan dengan HIV, mereka menemukan bahwa HCV dan HIV dalam semprit bervolume kecil menunjukkan waktu yang sama, tapi HCV tampaknya bertahan lebih lama daripada HIV dalam semprit volume besar.

Berbicara di sebuah konferensi pers, Dr. Paintsil mengatakan temuan ini memiliki implikasi bagi upaya pengurangan dampak buruk narkoba, menunjukkan bahwa hal itu mungkin dianjurkan untuk program pertukaran jarum suntik untuk menyediakan semprit kecil (yang biasa dipakai untuk menyuntikkan insulin) daripada yang lebih besar. Namun, ia menekankan, “untuk tidak menggunakan kembali semprit sekali pakai”, dan program harus memberikan semprit yang cukup, sehingga pengguna tidak perlu berbagi.

Pada tanggapan terhadap pertanyaan, ia berkata bahwa lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk menentukan apakah transmisi HCV melalui penggunaan narkoba suntikan bervariasi antara iklim hangat dan dingin, atau antara musim panas dan musim dingin.

Sumber :Kalbe.co.id

Jumat, 23 April 2010

Pil KB Tingkatkan Resiko Osteoporosis

PIL kontrasepsi oral atau yang umum dikenal dengan pil KB terbukti efektif mencegah kehamilan. Akan tetapi, ada baiknya memperhatikan durasi penggunaan. Pasalnya, sebuah studi menemukan bahwa kontrasepsi oral bisa menurunkan kepadatan tulang pada perempuan muda.

Studi yang dipublikasikan di jurnal Contraception ini mengungkap, mereka yang menggunakan pil KB selama lebih dari dua tahun dan mereka yang menggunakan pil dengan kandungan estrogen rendah berisiko paling besar mengalami penurunan kepadatan tulang belakang dan tulang di seluruh tubuh.

"Temuan ini menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral dosis rendah dalam jangka panjang mempengaruhi kepadatan tulang," tutur peneliti Delia Scholes dari Group Health Research Institute of Group Health Cooperative di Seattle, seperti dikutip  situs healthday.

Peneliti belum bisa menentukan apakah penurunan kepadatan tulang ini bisa diperbaiki hanya dengan menghentikan penggunaan kontrasepsi oral. Mereka juga tidak bisa mempelajari apakah penurunan kepadatan tulang pada perempuan muda ini akan meningkatkan risiko patah tulang pada kehidupan selanjutnya.

Akan tetapi, terang peneliti, jika penggunaan pil mengurangi kepadatan tulang belakang hingga 5 persen (seperti ditemukan dalam studi) dan jika dampak ini tidak bisa diperbaiki dengan penghentian penggunaan, maka akan sangat merugikan perempuan setelah  menopause. "Penuruan kepadatan tulang sebesar 5 persen setelah menopause berkaitan dengan peningkatan risiko osteoporosis hingga 50 persen," terang Scholes.

Kadar mineral

Dalam studi ini, peneliti mempelajari 606 perempuan berusia antara 14 dan 30. Peneliti mereview penggunaan kontrasepsi oral, durasi serta dosis estrogen di dalam kontrasepsi. Hasil review ini kemudian dibandingkan dengan hasil tes kepadatan mineral tulang. Tes  kepadatan tulang mengukur kepadatan tulang di pinggang, tulang belakang dan seluruh tubuh.

Peneliti menemukan, perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral rata-rata memiliki kadar mineral tulang 5,9 persen lebih rendah untuk tulang belakang dan 2,3 persen lebih rendah untuk seluruh tubuh. Selain itu, peneliti juga menemukan tren penurunan kepadatan tulang di area pinggang.

Di samping itu, peneliti juga menemukan tren penurunan kepadatan tulang pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi dengan kandungan estrogen yang lebih rendah. Kadar kepadatan tulang terendah ditemukan pada perempuan yang menggunakan formula dengan kandungan estrogen kurang dari 30 microgram.

Menurut peneliti, hormon-hormon dalam pil KB cenderung mempengaruhi kadar hormon normal, kemungkinan menurunkan sirkulasi estrogen normal, sehingga mempengaruhi produksi tulang.

Sumber : kalbe.co.id

Misoprostol vs Oksitosin untuk Perdarahan post partum

Penelitian Dr. Winikoff  dkk. yang dipublikasi dalam Lancet volume 375 tahun 2010 , membandingkan misoprostol sublingual dengan oksitosin pada  post partum haemorrhage (pendarahan paska persalinan); hasilnya menunjukkan bahwa misoprostol dapat menjadi satu alternatif, selain oksitosin dalam penanganan kasus pendarahan paska persalinan tersebut.

Oksitosin sebagai standar dalam pengobatan post-partum haemorrhage (PPH), bisa bermasalah apabila tidak tersedia karena alasan penyimpanan serta pemberian secara intravena. Misoprostol, sebagai preparat uterotonika dengan beberapa kelebihan dalam hambatan tersebut, diharapkan dapat menjadi suatu alternatif. Dalam penelitian ini, pemberian misoprostol diharapkan memberikan efikasi serupa dibandingkan oksitosin dalam pengobatan pendarahan paska persalinan pada wanita yang tidak terpajan oksitosin selama proses melahirkan.

Dengan desain buta ganda  (double-blind), non-inferiority trial,  sekitar 9.348 wanita yang tidak terpajan profilaksis oksitosin serta menderita pendarahan pervaginam diperiksa setelah proses persalinan di 4 rumah sakit di Ekuador, Mesir, dan Vietnam.   Sekitar 978 wanita (10%) didiagnosis perdarahan paska persalinan primer  dan secara acak menerima 800 μg misoprostol (n = 488) atau 40 IU oksitosin intravena (n = 490). Baik tenaga kesehatan serta pasien tidak mengetahui jeins pengobatan yang diberikan. Sebagai tujuan/hasil primer adalah pendarahan aktif dalam 20 menit dan kehilangan darah tambahan sekitar 300 mL atau lebih setelah pengobatan. Ekuivalensi klinis misoprostol dapat diterima jika 97, 5% CI (Confidence Interval) berada di bawah batas non inferior yang ditetapkan 6%.  Seluruh hasil diperhitungkan dari saat mendapatkan pengobatan awal. Penelitian ini  terdaftar dalam  referensi  website Clinical Trial gov dengan nomer NCT 00116350.

Temuan penelitian, dengan seluruh partisipan yang secara acak mengikuti penelitian ini dianalisis. Pendarahan aktif yang terkontrol dalam  20 menit pada penelitian terdapat pada 440 wanita (90%) yang mendapatkan  misoprostol dan 468 wanita (96%) yang diberi oksitosin  (relative risk [RR] 0,94 ; 95% CI 0,91- 0,98; crude difference 5,3% ; 95% CI 2,6- 8,6). Kehilangan darah tambahan  ≥300 mL setelah pengobatan terjadi pada 147 wanita (30%) yang menerima misoprostol dan 83 wanita (17%) yang menerima oksitosin (RR 1,78 ;  95% CI 1,40- 2,26). Efek seperti menggigil (229 [47%] vs 82 [17%]; RR 2,80; 95% CI 2,25—3,49) dan demam (217 [44%] vs 27 [6%]; 8,07, 5,52—11,8) , lebih banyak dialami pada wanita yang mendapat misoprostol daripada oksitosin.  Tidak ada seorang wanita pun yang dihisterektomi atau meninggal.

Simpulan penelitian tersebut adalah apabila penggunaan oksitosin tidak mungkin, maka misoprostol dapat menjadi alternatif pilihan pertama yang sesuai untuk pendarahan paska persalinan (post-partum haemorrhage).

Kedelai Hitam untuk menurunkan Berat Badan

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap tikus percobaan mengungkapkan bahwa diet yang banyak mengandung kacang kedelai hitam dapat membantu pengendalian berat badan, mengurangi kadar kolesterol LDL, dan melindungi dari diabetes tipe dua.
Beberapa peneliti Korea yang dipimpin oleh Shin Joung Rho di Hanyang University, Seoul, memberikan diet yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi dalam jumlah yang berlebihan selama 28 hari. Beberapa tikus diberikan suplemen kacang kedelai hitam dalam kadar yang berbeda-beda dan beberapa tikus tidak diberikan sama sekali sebagai kontrol penelitian.
Setelah dua minggu, tikus yang mendapatkan 10% energi dari kacang kedelai hitam hanya mengalami peningkatan berat badan separuh yang dialami kelompok kontrol yang sama sekali tidak mendapat kedelai hitam.
Tikus yang mendapat diet 10% kacang kedelai hitam juga memiliki kadar kolesterol total 25% lebih rendah dan kadar kolesterol LDL ('lemak jahat') 60% lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan kadar kolesterol HDL ('lemak baik') pada kelompok diet kedelai hitam 10% jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.
Penelitian ini menunjukkan bahwa diet kacang kedelai hitam dapat menghambat peningkatan berat badan secara signifikan dan membantu penurunan kadar kolesterol, demikian tulisan Rho dalam Journal of the Science of Food and Agriculture.
Namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan efek jangka panjang dari diet kacang kedelai hitam pada manusia dan penelitian lain untuk membandingkan manfaat kacang kedelai kuning dan hitam dalam diet.
Banyak pakar yang menyatakan bahwa protein kacang kedelai bermanfaat membantu metabolisme jaringan lemak dan hati. Kacang kedelai hitam telah sering digunakan sebagai komponen obat Asia dalam terapi diabetes dan hipertensi, mengurangi peradangan, dan memperlancar sirkulasi darah, serta pengobatan gangguan hormon.
Pada tahun 1999, US Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan ijin bagi produk makanan yang mengandung protein kedelai untuk mencantumkan label manfaat kedelai bagi kesehatan jantung. Ijin tersebut dikeluarkan berdasarkan bukti bahwa protein kedelai dalam diet rendah lemak jenuh dan kolesterol dapat membantu mengurangi risiko penyakit jantung.

Sumber : Kalbe.co.id