Pages

Kamis, 29 April 2010

Virus Hepatitis C Bertahan Hidup dalam ALat Suntik

Virus hepatitis C (HCV) mungkin masih dapat menular melalui jarum suntik lama setelah penggunaan pertama mereka, menurut sebuah studi di Amerika Serikat yang dipresentasikan pada 17th Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) di San Fransisco. Jarum suntik yang berukuran lebih besar dan suhu yang lebih dingin dihubungkan dengan ketahanan hidup virus lebih lama, hingga dua bulan.

Sebagian besar orang dengan hepatitis C kronis tertular virus melalui berbagi peralatan suntikan narkoba. Tingkat infeksi HCV berkisar dari sekitar 30% sampai 90% dalam berbagai kelompok pengguna narkoba suntikan, jauh lebih tinggi daripada prevalensi HIV.

Sementara langkah-langkah pengurangan dampak buruk narkoba seperti program pertukaran jarum suntik telah secara dramatis mengurangi infeksi HIV baru di kalangan orang yang menyuntik, langkah-langkah pengurangan dampak buruk dari penggunaan narkoba suntikan memiliki dampak yang lebih rendah pada hepatitis C. Selain itu, penularan HCV terjadi sepuluh kali lebih sering daripada penularan HIV melalui kecelakaan tertusuk jarum suntik.

Elijah Paintsil dan rekan-rekannya dari Yale School of Medicine di Connecticut merancang studi untuk menguji hipotesis bahwa kemungkinan besar dari infeksi mungkin disebabkan karena adanya ketahanan hidup yang lebih lama dari HCV dalam jarum suntik.

Para peneliti mengembangkan sebuah tes laboratorium baru untuk menilai ketahanan hidup HCV dalam sisa darah dalam semprit. Karena HCV yang diambil langsung dari orang yang terinfeksi tidak dapat tumbuh di laboratorium, mereka menggunakan virus genotipe khusus 2a yang dapat hidup dalam biakan sel.

Para peneliti pertama mempersiapkan semprit dengan HCV. Mereka melihat dua jenis jarum suntik dan volume darah: semprit insulin volume kecil dengan jarum yang terpasang secara permanen diisi dengan 2 µL darah, dan semprit tuberkulin dengan volume yang lebih besar dengan jarum yang bisa dilepas diisi dengan 32 µL darah. Orang yang menyuntikkan hormon – misalnya, transgender atau orang-orang yang sedang membentuk badan – biasanya menggunakan semprit yang lebih besar.

Beberapa semprit segera diuji dan yang lainnya disimpan untuk suatu jangka waktu yang berkisar sampai dua bulan. Semprit disimpan pada tiga suhu yang berbeda: 4ºC (sama dengan suhu kulkas pada umumnya), 22ºC (iklim suhu kamar) dan 37ºC (suhu tubuh dan iklim yang sangat hangat). Semprit kemudian dibilas dan virus yang masih bertahan diuji melalui biakan sel.

Para peneliti menemukan bahwa biakan sel menunjukkan berbagai tingkat infektivitas HCV. Melihat proporsi jarum suntik yang mengandung virus yang menular, dalam skenario volume kecil, kemungkinan untuk menemukan virus menular dengan cepat menurun pada jarum suntik yang disimpan pada 37ºC, dan tidak mengandung HCV satu hari setelah penyimpanan.

Pada 22ºC, sepertiga dari jarum suntik masih memiliki virus yang dapat menularkan pada hari pertama, tetapi tidak pada hari ketiga. Pada suhu 4ºC, HCV yang tetap bertahan terdapat dalam kira-kira dua pertiga dari jarum suntik pada hari pertama, sekitar seperempat pada hari ketiga dan sekitar 5% pada hari ke tujuh.

Pola ini tidak konsisten untuk skenario volume tinggi. Pada temperatur yang paling dingin, hampir semua jarum suntik masih memiliki HCV yang dapat bertahan pada hari ketujuh, kira-kira setengah masih dapat bertahan pada hari ke-35, dan sebagian kecil bahkan pada masih bisa menularkan pada hari ke-63 (sembilan minggu).

Jumlah semprit yang mengandung virus yang dapat menularkan pada awalnya menurun lebih cepat pada dua suhu yang lebih tinggi, tetapi kemudian jumlahnya menjadi sebanding. Pada suhu kamar, sekitar 70% HCV masih bertahan pada hari ke tujuh dan sekitar 40% pada hari ke-35. Pada 37ºC, proporsi tersebut hanya lebih dari 50% pada hari ke tujuh dan hanya sedikit lebih rendah pada hari ke-35. Sekali lagi, sebagian kecil masih memiliki HCV yang dapat menularkan setelah 63 hari.

Beralih ke titer atau jumlah HCV yang bertahan, dalam skenario volume kecil, jumlah virus di dalam jarum suntik menunjukkan tingkat kehilangan biphasic, dengan penurunan yang sangat cepat pada awal dan diikuti oleh penurunan yang lebih lambat. Sekali lagi, jumlah virus bervariasi menurut suhu. Infeksi HCV jatuh ke tingkat tidak terdeteksi antara hari dua dan tiga pada 37ºC dan pada hari ketiga pada 22ºC. Namun, pada 4ºC, sejumlah kecil virus tetap bertahan pada hari ketujuh.

Dalam skenario volume tinggi, tingkat virus yang bertahan menurun sampai sekitar hari ketujuh pada dua suhu yang lebih tinggi dan sekitar dua kali lebih lama pada 4ºC. Tingkat ini kemudian rendah tapi stabil untuk sisa waktu studi pada semua suhu.

Para peneliti menyimpulkan bahwa ketahanan HCV yang masih dapat menularkan tergantung kepada jenis dan ukuran semprit, dengan semprit dan jarum suntik yang dapat dilepas dan semprit volume besar yang lebih mungkin untuk menularkan virus. Selanjutnya, suhu yang lebih rendah lebih mampu mempertahankan HCV dalam semprit volume kecil dibandingkan semprit volume besar.

Dibandingkan dengan HIV, mereka menemukan bahwa HCV dan HIV dalam semprit bervolume kecil menunjukkan waktu yang sama, tapi HCV tampaknya bertahan lebih lama daripada HIV dalam semprit volume besar.

Berbicara di sebuah konferensi pers, Dr. Paintsil mengatakan temuan ini memiliki implikasi bagi upaya pengurangan dampak buruk narkoba, menunjukkan bahwa hal itu mungkin dianjurkan untuk program pertukaran jarum suntik untuk menyediakan semprit kecil (yang biasa dipakai untuk menyuntikkan insulin) daripada yang lebih besar. Namun, ia menekankan, “untuk tidak menggunakan kembali semprit sekali pakai”, dan program harus memberikan semprit yang cukup, sehingga pengguna tidak perlu berbagi.

Pada tanggapan terhadap pertanyaan, ia berkata bahwa lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk menentukan apakah transmisi HCV melalui penggunaan narkoba suntikan bervariasi antara iklim hangat dan dingin, atau antara musim panas dan musim dingin.

Sumber :Kalbe.co.id

0 komentar:

Posting Komentar